
Katanya, seseorang yang tiada akan tetap hidup dalam memori mereka yang terus mengenangnya. Maka sesungguhnya Eyang Iib akan abadi, karena bukan hanya saya dan keluarga kami, tapi begitu banyak orang yang telah disentuh kebaikan hati beliau insya Allah akan senantiasa mengingat.
Dalam mengingat Eyang, saya terkenang sosok yang senantiasa berdoa. Begitu khusyuk, begitu setia, dan begitu konsisten. Saya mengingat Eyang yang mengenakan mukena yang selalu beliau pakai sejak saya kecil, menengadahkan tangannya untuk meminta dari Allah—dulu pada sajadah beludru birunya, lalu setelah sudah tidak bisa berjalan di atas tempat tidurnya yang ditegakkan—bukan dari ego atau rasa berhak, bukan pula dari ketamakan.
Eyang justru meminta agar bisa lebih banyak memberi.
“Ya Allah, berikanlah kami rejeki agar bisa beribadah lebih baik lagi di jalan-Mu, agar bisa membantu orang di sekitar kami…”
Begitulah hidup Eyang, sebisa mungkin agar menjadi manfaat bagi orang lain.
Dari cerita saudara-saudara, saya belakangan tahu bahwa dulu setelah menikah, Eyang diminta Eyang Husein (suaminya) untuk berhenti mengajar. Tapi siapapun yang mengenal Eyang Iib tahu bahwa mustahil membuat beliau diam di rumah. Meski tidak bekerja, Eyang kemudian aktif berorganisasi di desa, memimpin penyuluhan bagi perempuan-perempuan di Cianjur, bahkan sampai menjadi Ketua RW (pun setelah tulang kaki Eyang patah dan harus menghabiskan banyak waktu di tempat tidur, beliau terus berkegiatan ini-itu). Bagaimana tidak, kalau ibunya dulu juga seorang aktivis pejuang kemerdekaan.
Kalau hari ini saya juga aktif memperjuangkan isu lingkungan dan berorganisasi, itu karena darah mereka mengalir pula di nadi saya.
Eyang selalu membanggakan prestasi cucu-cucunya. Eyang banyak bercerita ke para penjenguknya selama beberapa bulan terakhir hidupnya tentang saya yang sempat diundang ke Istana Bogor untuk ikut diskusi bersama Jokowi. Yang Eyang tidak ceritakan, adalah betapa gigihnya doa-doa beliau untuk kami, dan bahwa aliran doa-doa itu pula lah yang membawa saya, anak-anak, serta cucu-cucunya sampai bisa sejauh ini.
Salah satu memori terawal sekaligus terkuat saya adalah Eyang yang bangun jam 4 pagi untuk berdoa bagi kemenangan saya di lomba-lomba sejak SD—baik itu matematika, IPA, cerdas cermat—tidak ada hari kompetisi di mana saya berangkat meninggalkan rumah tanpa meminum ‘air doa’ dari Eyang.
Ketika sudah tidak tinggal bersama pun, setiap ada kesempatan di mana saya membutuhkan keberuntungan—baik itu lomba, wawancara, atau aplikasi beasiswa maupun kesempatan apapun itu—saya pasti akan telepon Eyang untuk meminta doa beliau.
Hari ini, tanpa Eyang dan doa-doanya, saya merasa lemah—seperti prajurit tanpa baju zirah.
Dari banyak doa yang Eyang sering sampaikan, yang paling berarti dan membekas di hati saya adalah doa agar “Nenk Dhita banyak yang sayang.” Saya sering didoakan orang untuk senantiasa bahagia, atau sukses, atau banyak rezeki. Tapi cuma Eyang yang mendoakan agar banyak yang sayang. Mungkin Eyang tahu bahwa hidup pada akhirnya adalah tentang rasa sayang dan cinta kasih di antara sesama manusia.
Maka beruntunglah kita yang hidupnya telah disentuh cinta kasih Eyang.
Semoga kita bisa meneruskannya ke lebih banyak orang, sebagaimana Eyang harapkan.
Amin ya Rabbal Alamiiin.
Selamanya cucu pertama Eyang,
Nenk Dhyta