Dunia Tanpa Negara

Kalau selama ini Conundrum of Paradox ditulis dalam bahasa Inggris, bukan berarti saya punya sentimen negatif berlebihan terhadap bahasa Indonesia. Apa boleh buat, konten pemikiran yang dituang disini prosesnya terjadi di kepala ketika membaca buku atau bengong dalam bahasa Inggris, sehingga cukup repot kalau harus saya terjemahkan dulu. (Kedengaran sok banget ya kalau disampaikan dalam bahasa Indonesia. Ampun.)
Intinya, demi asas kepraktisan utilitarianisme.

Tapi…tidak kali ini! Hehehe.

Kemarin, saya mendapat pencerahan melalui dialog tiga arah yang 90% terjadi dalam bahasa Indonesia bersama Mikha dan Kiki. Jadi, yuk mari. Tujuh ide ajaib yang terlahir dalam tiga jam setelah dua piring gunkan maki salmon:

Coffee_illusion

1. Dunia tanpa Negara

Kita sering mendengar para sosiolog mengklaim bahwa masyarakat melihat agama sebagai sesuatu yang given. Taken for granted, dianggap turun dari langit begitu saja, sehingga tidak patut dipertanyakan. Menurut saya, keraguan yang sama juga valid untuk diajukan terhadap eksistensi negara yang selama ini sudah diterima secara universal, bahkan lebih universal dari pengakuan terhadap nilai-nilai Hak Asasi Manusia. Apa jadinya dunia tanpa negara?

Yang pertama muncul di otak saya adalah, saya bisa ke Amerika Serikat tanpa antri visa selama dua jam penuh. Kedua, tidak ada institusi yang cukup kaya untuk memiliki beratus-ratus tank penghancur–apalagi nuklir. Ketiga, bahasa yang paling praktis akan secara alamiah ‘menang’ dan seluruh dunia bicara dengan kata-kata yang sama. Sebagai ganti negara, kata saya saat itu, pasar dan jaringan masyarakat akan menjadi tatanan dunia yang baru. (Yang kemudian dibantai habis-habisan oleh kedua teman saya.)

Argumen itu berangkat dari sebuah seminar kecil oleh Hotradero (beliau adalah seorang libertarian tulen) di Salihara tentang kepercayaannya pada mekanisme pasar sebagai self-evaluating system yang (hampir) sempurna.

Menurutnya, apa yang Uni Soviet coba lakukan (satu region memproduksi satu barang, lalu negara yang menjadi pusat distribusi) menjadi mustahil karena jumlah jenis produk yang begitu besar (>40.000) dengan kapasitas negara yang terbatas. Contoh: kota A memproduksi 1.000 truk roti tapi pemerintah belum bisa menyebarkannya ke kota lain dan rotinya keburu basi. Mekanisme pasar, di lain pihak, memungkinkan proses tersebut bukan hanya berjalan dengan otomatis tapi juga berkembang dengan maksimal karena kota A menginginkan survival. Itulah yang dicoba ditawarkan perdagangan bebas, dan dunia hari ini bergerak dalam kecepatan luar biasa ke arah sana.

Lalu, jika sistemnya sesempurna itu, apa yang salah?

Untuk pertanyaan ini, kami sama-sama sepakat: terlanjur ada kelompok yang tertinggal, dan karenanya mati tenggelam ketika diceburkan dalam laut kapitalisme. Disinilah harusnya negara mengambil peran terbesar. Disinilah seharusnya negara mengirimkan sekoci–atau setidaknya pelampung–yang membuat orang miskin bisa ikut berlayar. Society empowerment menjadi kunci penting untuk memastikan lingkungan kondusif dan sehat untuk sistem otomatis seperti itu. Sayangnya, negara hidup dalam ilusi mereka tentang kemajuan ekonomi yang diletakkan di atas kesejahteraan kolektif. Bukannya menyelamatkan orang miskin, negara malah membagikan bensin bagi kapal pesiar perusahaan besar yang rakus.

Pada perkembangannya, peran ini kemudian diambil oleh masyarakat sipil (biasa disebut juga sebagai global civil society atau masyarakat transnasional). Dari level grassroot, berbagai lembaga non-pemerintah dan kelompok masyarakat memulai usaha ‘pembagian pelampung’ mereka sendiri. Butuh dana? Pencarian donasi melalui jaringan mengumpulkan puluhan juta dolar dalam sehari. Butuh tenaga kerja? Relawan hari ini tersebar di seluruh dunia. Apa yang dulu hanya dapat dilakukan negara kini terjadi secara boundless dan global.

Dengan global civil society yang semakin kuat dan sistem pasar yang terus mengoreksi diri, bukan tidak mungkin dunia berjalan dalam sebuah shared norms dan global governance yang utuh–tanpa variabel negara di dalamnya.

Kata Kiki: “Tapi nanti siapa yang bikin jalan tol, Fu? Siapa yang akan menguasai sumber daya alam yang masih tersebar dimana-mana?”

Mikha menambahkan: “Human nature yang selalu ingin lebih nggak memungkinkan itu terjadi, Fu. Tanpa negara, bakal ada aktor baru yang ingin menguasai sumber daya dan akhirnya konflik lahir. Mau nggak mau harus ada kekuatan supra-masyarakat.”

Oke. Pertanyaan pertama: apa human nature itu ada? Kalau memang iya, apakah ‘selalu ingin lebih’ adalah karakter dasar manusia, atau tuntutan dari nilai ‘persaingan’ yang dibentuk peradaban dari tahun ke tahun? Faktanya, para filsuf di Akademia bahagia dengan ilmu, nggak butuh materi.

Kalau melihat pesimisme Mikha (dan Huntington) yang bilang bahwa akan selalu ada pertentangan nilai dan prediksi lama Fukuyama (tentang nilai liberalisme sebagai ‘juara’ Perang Dingin), saya harus akui bahwa jalannya masih panjang sampai negara benar-benar tidak signifikan dan dunia bisa berjalan dalam sistem yang sepenuhnya otomatis tanpa hirarki pemerintah.

Tapi, bukan nggak mungkin, toh?

2. Plato, Bayangan pada Dinding Gua, dan Bentuk Baru Pemerintahan

Diskusi ronde satu tersebut kemudian menghantarkan kita kepada alternatif-alternatif pilihan: bagaimana kalau negara bentuknya bukan satu kepala negara ataupun demokrasi terwakilkan? Bagaimana kalau negara yang baru memiliki bentuk fluid yang isinya adalah orang-orang terpilih dan mustahil korupsi?

Saya (lagi-lagi) teringat pada sebuah kuliah mimbar di kelas Filsafat Ilmu Sosial. Dosen saya saat itu mengutip Plato yang percaya bahwa ada manusia yang terlalu berfokus pada materi yang terlihat, dan manusia yang percaya bahwa dunia ide jauh lebih penting karena dunia materi hanya refleksi dari dunia ide. Karena itu, individu yang berhak duduk di kursi pemerintahan adalah para filsuf–mereka yang hidup dari ide-ide yang tumbuh secara konstan.

Kalau teman-teman ingat, pandangan Plato yang ini beliau umpamakan sebagai manusia-manusia yang hidup dalam gua dan menghadap ke dinding yang memantulkan bayangan dari dunia di luar pintu gua tersebut. Mereka semua menganggap bayangan yang mereka lihat sebagai realitas, karena itu adalah satu-satunya yang dapat mereka observasi dengan indra mereka. Lalu, ketika salah satu dari kelompok manusia itu berbalik dan menemukan sumber cahaya yang membentuk ‘realitas’ tersebut, tidak ada yang percaya padanya.

Para filsuf adalah orang yang berbalik dan berusaha mencari atau menemukan ‘realitas’ yang sebenarnya itu.

Kalau kata Mikha, ketika pemerintah berasal dari orang dalam gua, maka ketika ada yang salah dengan realitas (i.e. bayangan di dinding), mereka berusaha mengubahnya dengan mencoreti dinding tersebut. Padahal, yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah berbalik, dan mengubah benda (stalaktit di langit-langit gua atau apapun) agar bayangannya ikut berubah.

Apapun artinya obrolan kami, jelas bahwa ada yang salah dengan pemerintah yang kita punya sekarang. Yang salah adalah…

3. Presiden Itu Harus Ulama, Karena Pancasila Itu Kitab

Ronde ketiga: Mikha membawa nosi bahwa poin-poin dalam Pancasila udah kay
ak diturunin dari kahyangan. Terlalu indah dan sempurna sampai-sampai tidak manusiawi.

Jangan ketawa dulu. Coba diam dan resapi, deh.

Ketuhanan yang maha Esa.
Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Persatuan Indonesia.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Terlalu indah untuk menjadi kenyataan, kan?

Makanya, kami kemudian berargumen, yang jadi presiden negara ini harus seperti ulama: kalimat kitab yang penuh alusi dan multi-interpretasi harus dimaknai dengan spesifik, diresapi pakai hati, lalu diinterpretasikan agar jutaan umat mengerti ajarannya dan bergerak sesuai dengan perintah ‘agama’. Secara konsisten, ulama harus siap ditantang dengan kelompok yang memiliki interpretasi berbeda. Tapi yang penting, ulama ini harus teguh dan percaya sama kitab yang dia pegang, atau negara ini nggak bakal dibawa kemana-mana.

Mikha terus menjadikan Soekarno dan Soeharto sebagai contoh. Jelas, mereka ulama dari aliran yang berbeda. Yang satu pengen ke kiri, yang satu pengen ke kanan. Tapi nggak ada yang berani sangkal bahwa kedua Bapak Negara itu punya tujuan dan cinta sama kitabnya. Makanya, meskipun banyak yang nggak setuju, kita bisa lihat Indonesia gerak ke arah yang jelas.

Hari ini…presiden kita bukan ulama. Presiden kita penyanyi. Pengennya nyenengin semua orang, interpretasi terhadap kitab pun dirubah sesuai mood lingkungan. Jelas negaranya juga mondar-mandir. Duh.

Telling-the-truth

4. Mantra Utama dari Sihir dan Ilusi Abad 21: Development

Ngaku-ngaku post-strukturalis, kami kemudian menganalisis bagaimana komunitas internasional mengkonstruksi realitas sosial bahwa yang baru pasti lebih baik melalui mantra seperti ‘perkembangan’ dan ‘kemajuan’.

Sebagian ahli fisika sudah sepakat bahwa waktu itu bukan garis linear, tapi dimensi melingkar-lingkar yang sulit dicari ujungnya. Manusia lah yang otaknya terlalu sederhana dan membutuhkan konsepsi waktu sebagai garis lurus yang memudahkan mereka untuk mengerti. (Nggak cukup di situ, kita bahkan menciptakan detik dan jam untuk mengukur waktu.)

Pertanyaannya sekarang, apakah waktu merupakan sesuatu yang linear? Kalau ditarik lebih jauh ke dalam konteks ilmu sosial, apakah peradaban yang ‘ber-evolusi’ berarti ‘lebih baik’?

Beberapa minggu sebelumnya, saya memang sempat mendengar tentang ‘kesadaran’ manusia tentang evolusi sosial. Kenapa orang Barat tidak bisa tidak melihat kebudayaan Papua dan indegenous people lain sebagai ‘terbelakang’, antara lain karena kecenderungan mereka untuk melihat kebudayaan Barat sebagai hasil evaluasi dan perbaikan dari sebelumnya, sehingga ‘lebih rumit’ berarti ‘lebih baik’.

Menurut kami, semua kebudayaan di dunia itu harusnya dilihat paralel. Mereka lahir di periode waktu berbeda, untuk menjawab tantangan alam yang berbeda, dan menimbulkan interaksi antar-aktor yang berbeda pula. Kebudayaan bukan proses linear, tapi beberapa jalur yang paralel dan berdampingan.

Begitu pula dengan teknologi. Mantra ‘perkembangan’ dan ‘kemajuan’ yang mendorong para ilmuwan untuk terus berkreasi (tidak cukup iPad, harus ada iPad 2, 3, dan seterusnya) dan berproduksi demi berlomba di garis linear tersebut. Lingkungan, kemudian, hanya dilihat sebagai variabel penghambat dalam proses kejar-mengejar di dalamnya. Padahal, kalau mau ambil sudut pandang lain, mungkin sebenarnya perusakan alam untuk teknologi dan kemajuan ilmu adalah bentuk kemunduran.

Tanpa mengesampingkan apa yang agama sebutkan (bahwa manusia adalah ‘pemimpin’ dunia dan harus mengurusnya sebagai khalifah), mungkin ada baiknya kita berhenti dan melambat. Mungkin chakra kita baru benar-benar seimbang ketika kita dekat dengan tumbuhan dan binatang.
Mungkin Adam dan Hawa bukan diturunkan ke dunia untuk membabat hutan demi kepentingan manusiawi, tapi untuk hidup bersama-sama dan menciptakan harmoni di dalamnya.

Mungkin sebenarnya manusia hanyalah bagian tersombong dari alam.

Kata Mikha, proses melambat itu akan terjadi dengan sendirinya, Fu. Kalau, kalau bukan manusia yang merupakan spesies terkuat di bumi–tapi singa, apakah singa akan menghabiskan seluruh mangsanya sekaligus? Prediksi terbaiknya adalah bahwa singa akan sadar ketika buruannya semakin langka, dan sebelum ia benar-benar dapat bereaksi terhadap perubahan tersebut, sebagian besar dari singa akan mati sehingga jumlah binatang buruannya kemudian meningkat, lalu siklus yang sama berulang.

Yang sedang terjadi sekarang juga begitu. Manusia sudah mulai merasa terluka. Mereka merasa terancam. Makanya gerakan go green dan penelitian energi terbarukan dimulai. Sayangnya, luka ini masih kecil, Fu. Masih belum signifikan. Tuvalu memang akan sepenuhnya tenggelam dalam beberapa tahun, tapi Amerika Serikat dan Cina akan tetap berkuasa di sana. Manusia, seperti singa dalam cerita tadi, harus merasakan ketidakseimbangan alam dulu untuk berhenti.

Lagi-lagi, saya dan Kiki setuju.

5. Trinitas Ilmu

Untuk mereka yang belajar fisika, ekonomi, atau ilmu terapan lainnya, pertanyaan “Apa manfaat ilmu?” mungkin tidak membawa rasa galau sama sekali. Tapi untuk kami di rumpun sosial yang mempelajari sosiologi, antropologi, dan hubungan internasional, pertanyaan tersebut bisa menjadi sumber gundah gulana jangka panjang. Bahkan saya yang sudah berada di jurusan ini selama tiga tahun seringkali meragukan aspek instrumental dari apa yang saya kaji setiap hari di kelas dan tugas.

Menurut Mikha, pada dasarnya terdapat tiga ‘elemen’ utama dalam ilmu apapun:

  1. pengetahuan,
  2. penguasaan, dan
  3. perubahan.

Kerangka berpikir sederhana ini ternyata berhasil membuat saya ‘deg’.

Pada awalnya, manusia adalah makhluk ‘penasaran’ yang suka mencari tahu. Penting bagi seorang individu di zaman kuno, misalnya, untuk memiliki penjelasan terhadap ‘kutukan dewa air’ yang belakangan kita ketahui sebagai ‘banjir’. Setelah memuaskan naluri untuk ‘tahu’, manusia mulai mengikuti dorongan keduanya yaitu untuk ‘menguasai’. Meskipun para ilmuwan sudah puas ketika ‘tahu’ bagaimana atom bergerak dan besarnya kapasitas menghancurkan mereka, pemimpin politik kemudian menciptakan nuklir untuk mencapai power. Di luar kedua kelompok tersebut, adalah sebagian kecil manusia yang mengikuti dorongan hatinya untuk menggunakan ilmu demi mencapai perubahan positif.

Ilmu sosial pun demikian. Seorang mahasiswa mungkin saja mengetahui queer theory secara mendalam, tapi pilihan untuk menggunakannya sebagai alat pencapaian kekuasaan atau inisiatif membuat perubahan positif berada di tangan mahasiswa itu sendiri.

6. McKinsey & Company versus Profesor Hubungan Internasional

Setelah dua setengah jam lebih, pembicaraan kami mulai masuk pada tingkatan yang semakin non-substantif. Selain membicarakan proposal Mikha untuk melakukan dekonstruksi kaitan yang selama ini dibuat antara seks/jenis kelamin, gender, dan seksualitas serta menjadikannya sebagai tiga variabel terpisah dalam kolom identitas manapun, kami membicarakan rencana masa depan yang seharusnya saya ambil.

Meskipun selama ini saya selalu membesar-besarkan mimpi tentang bagaimana saya ingin menjadi seorang akademisi yang bertemu dengan ide-ide dan diskursus menyegarkan setiap hari, belakangan sempat terbersit keinginan untuk menjadi wanita karir dalam sebuah perusahaan konsultan. Setelah berdebat cukup panjang tentang berapa persen dari gaji saya yang harus dihabiskan untuk
belanja demi melepas stres dan berapa persen yang harus ditabung, kami sepakat bahwa mungkin saya harus mencoba bekerja selama beberapa tahun sebelum akhirnya kembali ke pangkuan Departemen Hubungan Internasional Universitas Indonesia.

Tapi masa depan, siapa yang tahu.

(Pos ini cukup panjang untuk dibaca sampai akhir oleh generasi yang mudah terdistraksi seperti kita. Karena itu, kalimat ini ditujukan untuk berterima kasih kepada mereka yang meneruskan membaca meski sudah bosan setengah mati. Hahaha. Selamat malam!)

Advertisement

In Defense of Truth

Out of so many reasons behind world’s becoming such a mess, I would highlight man’s obsession towards claiming the Truth as its thickest bottom line. On one side, religions work their ass off in vain, selling God to people who have retired from buying unfalsifiable tenets. Next to this scheme, various ethnic groups seek for a sustainable recognition under the hope to win a race that never even existed. Huntington would wrap this notion as ‘Clash of Civilizations’ while Fukuyama in ‘The End of History’ insisted that liberalism have won and there’s no need to further argue on anything.

This piece of writing, ladies and gentlemen, aims to question–not necessarily to answer–life’s most profound mystery (and simultaneously the omphalos of my life): what, or I should say who, is Truth?

Dictionary-series-philosophy-truth

When I was a child, everything seemed to be a lot easier: my parents would provide me a set of premises to embrace and accept as Truth. Eyang, a fundamentalist moslem herself, would offer me stories about how the Christians slaughtered my ‘brothers and sisters’ during The Crusades–hence it’s okay to secretly hate them. My elementary school teacher (or should I put it in a plural form?) would make the Dutch sound like Earth’s worst villains. In short, they forced me to see the world as a dichotomy of Truth: some deeds are right, and some others are unforgivably wrong.

They labeled history with value-saturated meanings.

Today, however, being an abnormally inquisitive being, I can’t help but to question these notions all over again: Why is something moral? Who decide if an action is right or wrong? What is behind everyone’s action?

Religious Preachers: “Truth Is God, My Child”

God (the Creator, Allah, Jesus, Buddha, Yahweh, or other names people decide to call Him) is usually–unique to each case–man’s either first or last attempt to find Truth. It’s quite easy to understand why religions are so tempting: it offers you calming, dogmatic tenets that keep you off from the search for a bigger cause, of critical assessments towards the given principles.

I don’t have the capacity to claim anything big, but I believe that religions shall never be seen as black boxes of sacred, unquestionable teachings but rather a peaceful room for discussions where, under heaven’s blessings, people contend ideas and get ready for counter-arguments.

So, in defense of Truth, one being is too small to comprehend God’s big plans–hence the necessity for discourses inside any religion.

Romantic Poets: “Truth Is Love, My Darling”

I’m rather skeptical about mankind’s ability to feel deep affection for someone unconditionally–but I can give you a list of people who would say something like, “Every individual completes his/herself after they find their destined love.” (…and I would rebut with a straight face, “Dude, isn’t every baby born complete with their own thoughts?”)

So instead of waving a white flag behind the pillars of a certain religion, these people find Truth in the face and words of their lover. Nothing else matters, really, because their whole world comes down to a single person, and with him/her around, they know Truth exists.

But then again, in defense of Truth, love is too subtle to be proven real. Sometimes it materializes into nice gestures, sometimes they disappear. Is Truth something that disappears every now and then? I don think so.

Johan: “Truth Is Pain”

Everytime I raise this question, he would state, confidently, “The only reality in this world is pain, darling.” To some extent, I find the urge to agree with this notion. I mean, feelings that are translated into man-invented words can deceive you, face expressions can be easily trained, but pain hurts when they visit.

Rephrasing Tolstoy’s saying, “…All happiness is alike, but each pain is painful in its own way.”

In defense of Truth, however, I wholeheartedly believe that it should depict an unbiased, balanced proposition. It shall not stand at the edge of either side of the spectrum (like ‘pain’ or ‘happiness’) for it is too unfair to bestow the huge title only on one party.

Greek Philosophers: “Truth Is What You Make of It”

One of my Monday classes in Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara actually declared that Truth, in the end, might be as simple as a consensus. It is created by the society in order to halt potential conflicts and chaos that might emerge has there been no agreed Truth. This is what I’m currently holding on to.

Alexander Wendt, the father of constructivism, would add a long list of arguments about how states create their Truth. Down in my subconscious, I know that this explanation serves best to what I myself have been thinking. Until now, however, I can’t completely embrace this idea for it’s too heartbreaking that Truth does not actually exist. It is invented, by humans, to serve their selfish interests, and thenceforth is re-inventable.

It is twice saddening because to me, the search for Truth–the journey–bodes be better than the destination itself, and it shall end immediately have I been illuminated by this way of thinking. I reject to stop, though. I created new journeys in the quest for Truth. I refuse to, like other people, roll back into their worldly blankets and decide to ignore the neverending questions about life’s fundamental riddles. (Or puzzles, if you’re a visual person.)

In defense of Truth, I would end this post by saying that, if there’s one relieving truth you can rely on, it’s the fact that our planet has an infinite number of books.

That was a joke, by the way. HAHAHA.

Grab one before you sleep and good night!